Oleh: Aisyah Nano (Ketua FLP Ranting Al-Azhar, Mahasiswi Program Studi Hukum Keluarga Islam STAI Al-Azhar Gowa)
inforakyatindonesia.com – Pandemi Covid-19 tidak hanya berpengaruh terhadap aspek kesehatan saja, namun juga berpengaruh pada hampir semua aspek kehidupan, baik kenegaraan, sampai aspek personal seperti kondisi psikis.
Adanya imbauan untuk melakukan physical distancing dengan tetap di rumah yang menjadi salah satu cara untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Namun siapa sangka, ternyata imbauan untuk tetap dirumah ini justru menimbulkan masalah baru, yakni meningkatnya kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) seiring dengan semakin panjangnya waktu orang-orang berdiam di tempat tinggal mereka. Rumah yang harusnya menjadi tempat paling aman justru berekbalikan.
Adanya imbauan pemerintah dan WHO untuk tetap tinggal di rumah cukup menguntungkan bagi beberapa orang, contohnya bagi orang-orang yang sebelumnya jarang menghabiskan waktu atau jarang berkumpul dengan keluarga justru sekarang menjadi keluarga yang sangat akrab akibat adanya imbauan tersebut. Namun, ternyata hal ini tak berlaku kepada semua orang, untuk beberapa orang, hal ini justru bisa menjadi petaka dan berakhir dengan tragis.
Laporan terkait kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) terus meningkat selama pandemi Covid-19, bahkan kekerasan menjadi lebih sering terjadi dan lebih parah, dalam hal ini, perempuan hampir selalu menjadi korban kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarakat yang dibentuk oleh kekuatan patriarkal, dimana laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan. Kekerasan terhadap perempuan pada umumnya terjadi melalui konsep adanya control atas diri perempuan, baik terhadap pribadinya, kelembagaan, simbolik dan materi dan lainnya. Dengan demikian, ketika hubungan antar jenis kelamin dikonstruk melalui hubungan dominasi-subordinasi, maka perempuan berposisi sebagai pihak yang diatur oleh laki-laki.
Di beberapa negara, sejumlah perempuan yang meminta pertolongan melonjak dua kali lipat untuk mendapatkan layanan perlindungan akibat Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), sementara itu layanan kesehatan dan polisi kewalahan dan kekurangan personel.
Dilansir dari Titro.id: Berdasarkan data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (Apik) selama 16 Maret hingga 30 Maret 2020 terdapat 59 kasus kekerasan, perkosaan, pelecehan seksual, dan online pornografi yang terjadi. Di antara kasus tersebut, 17 di antaranya adalah kasus KDRT. Menurut LBH Apik, jumlah ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan sebelum diberlakukannya imbauan pembatasan sosial. Angka tersebut merupakan jumlah kasus tertinggi yang pernah dicatat oleh LBH Apik dalam kurun waktu dua pekan.
Pengertian Perkawinan
Perkawinan bukan saja merupakan satu jalan untuk membangun rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Hal ini juga dipandang sebagai jalan untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas serta memperkuat tali silaturahmi diantara manusia. Adapun makna perkawinan, secara istilah masing-masing ulama fikih memiliki pendapatnya sendiri seperti, ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal حُ حاكَكنِن , atau كَ ز كَ وا حُ ج , yang memiliki arti pernikahan menyebabkan pasangan mendapatkan kesenanag.
Pengertian Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yaitu: ” Sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk keluarga yang kekal dan bahagia dengan didasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan tersebut dapat dirinci dalam beberapa unsur dari pengertian perkawinan, yaitu:
1. Adanya Ikatan Lahir Batin
Perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu persetujuan yang dapat menimbulkan ikatan, dalam bentuk lahiriah maupun batiniah antara seorang pria dan wanita, bahkan ikatan batin ini merupakan daripada ikatan lahir.
2. Antara Seorang Pria dan Wanita.
Unsur pria dan wanita menunjukkan secara biologis orang akan melangsungkan perkawinan haruslah berbeda jenis
kelamin. Hal ini sangat penting, karena perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang menghendaki adanya
keturunan.
3. Sebagai Suami Istri.
Pria dan wanita yang sudah terikat dalam suatu perkawinan, secara yuridis statusnya berubah. Pria berubah statusnya sebagai suami dan wanita berubah statusnya sebagaisebagai istri.
4. Adanya Tujuan.
Tujuan dalam perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Seorang pria dan
seorang wanita yang telah mempunyai ikatan lahir batin dengan melangsungkan perkawinan haruslah menuju pada
suatu perkawinan yang kekal, bukan untuk masa tertentu.
5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Unsur berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan arti bahwa
perkawinan itu mempunyai hubungan yang erat dengan agama. Disini dapat di lihat bahwa peranan agama sangatlah penting. Masalah perkawinan bukanlah semata-mata masalah keperdataan saja, melainkan juga
masalah agama. Sehingga di dalam perkawinan tersebut harus
diperhatikan unsur-unsur agama.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991), menyebutkan bahwa perkawinan adalah “akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliidhzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Dari pengertian perkawinan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa perkawinan adalah suatu akad yang dilakukan untuk menaati perintah Allah karena melaksanakannya adalah suatu ibadah. Perkawinan adalah suatu ibadah yang yang dilakukan untuk mentaati perintah Allah.
Jika Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terjadi, maka makna dan tujuan dari nikah itu sendiri berarti tidak terpenuhi dimana yaitu untuk membentuk keluarga yang
kekal dan bahagia atau untuk mendapatkan kesenangan dalam berumahtangga.
Ancaman Pidana
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) juga dikenal sebagai tindakan pemukulan terhadap istri, penyiksaan terhadap istri, penyiksaan terhadap pasangan, kekerasan dalam perkawinan atau kekerasan dalam keluarga. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka, atau tertutup, baik yang bersifat menyerang atau bertahan, yang disertai oleh penggunaan kekuatan kepada orang lain. UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Ada beberapa ketentuan hukum yang telah diatur dalam undang-undang ini. Di samping hukuman untuk pengadilan dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga dapat memutuskan pengadilan tambahan yang bisa dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat diatur oleh pengadilan sebelum persidangan dimulai. Antara lain:
a. Penerapan ancaman pidana penjara dan denda.
Di Indonesia sendiri, penegakan hukumnya selain menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, juga menggunakan KUHP dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tercatat total hukuman penjara antara 6 bulan sampai 2 tahun 6 bulan yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri dengan menggunakan pasal-pasal UU No. 23 tahun 2004 pasal 49 jo pasal 9 dan pasal 279 KUHP, untuk pasal penelantaran dan perkawinan menikah lagi tanpa ijin istri, pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik, pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa pengancaman. Sementara putusan Pengadilan dengan hukuman pengadilan yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap jumlah kasus dalam relasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan pasal-pasal KUHP (pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289 dan 335 untuk kasus penganiayaan anak dan perkosaan anak), pasal 81 dan 82 UU No. 23 tahun 2002 dan pasal 287 dan 288 KUHP untuk kasus pemerkosaan anak belum ditemukan yang menggunakan ancaman penjara atau denda maksimal yang diatur dalam UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) ini.
b. Penerapan pidana tambahan
Pada Pasal 50 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengatur:
“Selain menjatuhkan disetujui dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan hukuman tambahan berupa: Meminta gerakan baik yang mendukung terhadap pembunuhan Dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, juga meminta hak-hak tertentu dari perlindungan”.
Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak korban dan tanggapan kebutuhan untuk pencegahan lanjutan tindak lanjut Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Disamping itu, juga ada kebutuhan untuk menyelenggarakan program konseling yang diminta untuk dibimbing atas persetujuan atas tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang pernah dilakukan. Inisiatif untuk menyetujui program dan menyatukan konseling untuk kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) telah dimulai oleh Mitra Perempuan disetujui dengan persetujuan konselor laki-laki dari asosiasi terkait dan petugas BAPAS yang menyiapkan modul untuk memberikan konseling yang dibutuhkan.
Selanjutnya, salah satu bentuk undang-undang yang juga dirancang khusus untuk merespon kebutuhan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan anggota pertanggungan yang berisi permintaan perlindungan yang dapat diatur oleh pengadilan yang diatur dalam pasal-pasal 28-38 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ketua Pengadilan mewajibkan surat penetapan yang berisi permintaan perlindungan tersebut dalam tenggang waktu 7 hari sejak menerima surat permintaan persetujuan ada alasan yang mana pada pasal 28 permohonan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Selanjutnya, pada pasal 29, permohonan untuk memperoleh surat permintaan persetujuan dapat diajukan oleh: Korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping atau pembimbing spiritual. Bentuk perlindungan hukum ini juga belum banyak diketahui dan diterapkan oleh para penegak hukum dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
KDRT dalam Maqasid Syari’ah
Maqasid al-Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu مقا صد dan الشر يعة. Maqasid adalah bentuk jamak yang berasal dari fikih قصد yang berarti membawa sesuatu, juga berarti permintaan, maksud dan tujuan. Syari’ah menurut bahasa berarti jalan menuju sumber air yang juga dapat diartikan sebagai jalan menuju sumber keadilan utama. Menurut definisi yang diberikan oleh para ahli, Syari’ah adalah semua Kitab Allah yang berkaitan dengan perilaku manusia di luar yang diatur oleh diri sendiri. Dengan demikian, hukum adalah nama resmi amaliyah, dalam ushul fikih Maqasid al-Syari’ah didefinisilan dengan makna dan tujuan merujuk pada hukum untuk kepentingan umat manusia. Oleh karena itu, Maqasid al-Syari’ah dapat didefinisikan sebagai tujuan yang ingin dicapai dari pengaturan hukum. Adapun tujuan yang hendak dicapai yaitu: Hifdz Ad-Din yaitu untuk memelihara agama, Hifdz An-Nafs untuk memelihara atau melindungi jiwa, Hifdz Al-’Aql, untuk memelihara akal pikiran,
Hifdz An-Nasb untuk memelihara keturunan, dan yang terakhir adalah Hifdz Al-Maal untuk memelihara harta benda.
Jika seorang (suami/istri) melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) maka dalam pandangan Maqasid Syri’ah, dalam hal ini sudah melanggar paling tidak 2 dari 5 tujuan syariat, yaitu:
1. Hifzu ad-Din (Menjaga Agama). Karena sejatinya perkawinan adalah sesuatu ibadah dalam Islam bahkan ibadah terlama, oleh karena itu apa yg dilakukan didalam rumah tangga tersebut seharusnya hal yang bisa mendekatkan diri kepada agama, untuk itu, jika seseorang melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), berarti dia telah melanggar aturan dalam Islam dan hakikat dalam perkawinan. Sebab, perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan
agama, sebagaimana disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan juga dalam Kompilasi hukum Islam sebagaimana yang telah saya tuliskan sebelumnya.
2. Hifzu al-Nafs (Menjaga Jiwa). Karena jika orang melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) berarti dia telah melakukan kekerasan yang bisa saja mengakibatkan sang korban kehilangan nyawanya apabila kekerasan tersebut sudah melampaui batas. Disini jelas bahwa dia telah melanggar tujuan syari’at yaitu untuk menjaga jiwa. Dua hal inilah yang kemudian sangat penting untuk dijaga namun justru banyak dilanggar.
Penyebab KDRT
Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) jika diamati dari berbagai kasus yang diadukan pada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) misalnya, terjadi karena beberapa faktor antara lain:
– Ekonomi
– Orang ketiga
– Pendidikan dan pengamalan agama dan
– Stress di luar rumah.
Pada point ke 4 justru berbeda dengan realita yang terjadi saat ini. Sebab, berdasarkan kasus yg terekam di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) adalah saat dalam kondisi normal, yaitu sebelum adanya kasus Covid-19 dan adanya imbauan untuk tetap dirumah. Kebanyakan dari mereka yang terlibat dalam kasus Kekerasan dalam Rumah (KDRT) ini, adalah akibat dari stress terlalu lama berada didalam rumah, yang pada akhirnya, membuat korban terjebak dengan pelaku kekerasan. Sebagaimana yang dikatakan oleh WHO, bahwasanya stress terlalu lama berada didalam rumah selama pandemi Covid-19 memicu meningkatnya Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Apa solusinya ?
Saat mulai meningkatnya kasus penyebaran Covid-19, satu persatu bermunculan bermacam jargon, itulah, jargon-jargon jaga iman dan imun itu cukup relevan. Sebijak mungkin, kita perlu menata kembali agenda dan rencana-rencana selama di rumah. Sehingga setiap anggota keluarga bisa sibuk dengan hal positif.
Sebagai muslim, mukmin, tentu saja kita percaya bahwa segala masalah ini timbul karena dua hal yaitu:
1. Khutuwaati syayaatiin (langkah-langkah syetan). Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur: 21)
2. Dorongan nafsu. Nafsu yang terdapat pada manusia adalah ujian dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika Manusia mampu menguasai nafsunya, dia telah berjalan mengatasi salah satu ujian Allah yang cukup berat. Banyak konsep atau teori tentang nafsu dari beberapa pakar. Nafsu diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai jiwa, dalam Al Qur’an sendiri nafsu bekerja sebagai penggerak tingkah laku manusia. Sekiranya nafsu dididik ke arah kejahatan dan melalui sistem yang jahat, maka nafsu akan menjadi jahat dan liar. Allah Subhanau Wa Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. ( QS. Al-Ankabut:69)
Siapa yang bermujahadah terhadap nafsu, ditingkatkannya daripada jahat kepada baik, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memberi petunjuk kepada jalan yang baik. Itulah janji Allah. Maka dari itu, setiap anggota keluarga penting memiliki kemampuan pengendalian diri. Misalnya dengan cara berwdhu dan menahan untuk tidak berkata-kata yang dapat memicu pertengkaran. Perlu diketahui juga, bahwa dewasa ini, banyak kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang bukan saja istri sebagai korban, tapi juga suami atau anak.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Emas Rahayu salah seorang pemateri pada sekolah pergerakan perempuan, bahwasanya masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) ini juga berpangkal pada lost of adab, yaitu dalam berumah tangga, semua anggota keluarga perlu memahami adab masing-masing, sebagai apa, harus bagaimana, tugas dan perannya apa, bagaimana bersikap, dan sebagainya guna menjaga hubungan baik keluarga.
Wallahu’alambisaub