Oleh : Muhammad Anwar (Green Youth Movement)
inforakyatindonesia.com – “Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s gread”
~ Mahatma Gandhi, 1958.
Momentum 22 April 1970 silam merupakan tonggak sejarah peringatan hari bumi yang ditandai dengan demonstrasi besar-besaran oleh dua puluh ribu-an rakyat Amerika, sebagai bentuk protes terhadap Pemerintah dan kalangan Politukus yang kian apatis terhadap upaya perlindungan lingkungan hidup di Amerika Serikat atau bahkan dunia. Gerakan tersebut merupakan titik kulminasi dari serangkaian perjuangan Gaylord Nelson sebagai motor gerakan, dalam upaya memberantas kerusakan lingkungan hidup akibat business proccess pemerintah dan korporasi (Trans Nasional Corporation & Multi Nasional Corporation/TNC-MNC) yang eksploitatif terhadap alam dan berbuntut pada bencana ekologis.
Aksi yang dimotori Gaylord dan peringatan hari bumi setiap 22 Aoril, sejatinya hanyalah satu dari sekian gerakan antitesa terhadap upaya eksploitatif terhadap lingkungan, dengan Trans Nasional Corporation dan/atau Multi Nasional Corporation sebagai aktor utama menggandeng Pemerintah yang semakin diompongkan oleh tumpukan modal dengan tawaran econimoc growth yang semu. Sesungguhnya esensi dari gerakan seperti Gaylord tersebut ialah untuk menghadirkan upaya perlindungan lingkungan hidup yang real, serta mampu memutus impunitas korporasi sebagai aktor utama penyebab ecocide atau perusakan alam secara masif dan dalam skala besar. Pertumbuhan ekonomi selalu dijadikan dalih sebagai rasionalisasi atas pengeksploitasian alam skala besar, tanpa melihat apakah pertumbuhan ekonomi yang ditawarkan benar mampu menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, ataukah sebaliknya malah menghancurkan?
Konsepsi Ecocide
Narasi mengenai Ecocide muncul pertama kali sebagai defenisi atas kerusakan lingkungan hidup skala luas dalam situasi perang, yang dilakukan dengan cara menggunakan bahan kimia untuk tujuan serangan terhadap pasukan musuh serta berdampak terhadap kesehatan penduduk sipil dan kerusakan ekologis skala besar dan berjangka panjang.
Beberapa tahun pasca revolusi industri, narasi ecocide bergeser dari kejahatan dan perusakan lingkungan dalam kondisi perang, ke arah perusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh bisnis eklploitatif dan ekstraktif oleh perindustrian/korporasi. Korporasi yang belakangan menjelma menjadi salah satu aktor pembangunan yang genuine, nampak kasat mata menitikberatkan kepentingan pemilik modal dengan orientasi mengakumulasi provit sebesar-besarnya demi memperpanjang jangkauan nafas industrialisasi dan ekspansi sumber daya alam. Untuk melegitimasi kepentingannya, korporasi akan mengintervensi sistem pemerintahan negara-negara di dunia agar berporos ke sistem ekonomi kapitalistik yang menempatkan sumber daya alam sebagai komoditi, Sebagaimana diformulasikan oleh Marx dalam siklus akumulasi kapital: M (money/modal)-C (commodity)-M’ (money+surplus). Artinya, dari formulasi tersebut, Marx menggambarkan bahwa akumulasi kapital bekerja dengan siklus menghasilkan surplus/keuntungan dari modal produksinya, kemudian surplus tersebut sebagian akan dinikmati pemilik kapital dan sebagiannya lagi akan diinvestasikan ulang untuk memperluas atau memperbesar skala produksi secara continue. Perluasan skala produksi berimpliksi terhadap ekspansi lahan-lahan baru tempat eksplotasi sumber daya alam untuk proses produksi. Dengan demikian, proses industrialisasi yang dilakukan oleh korporasi berkonotasi terhadap ekspansi lahan baru dan buntutnya pada perusakan lingkungan skala besar (ecocide) dan konflik lahan penghidupan rakyat kecil.
Frans J. Broswimmer mengartikan ecocide is the killing of an ecosystem, termasuk para pembuat kebijakan dan konsumen. Maksudnya, Broswimmer mengartikan abad perusakan lingkungan hidup global dilakukan secara sistematis dan massal, perilaku ecocide tidak hanya didukung oleh modal atau negara sebagai fasilitator dan regulator, tetapi juga pengarahan massa sebagai konsumen aktif. Diskursus mengenai pengkategorian secara legal diskursus ecocide sebagai kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan (extra ordinary crime) telah berlangsung lama sejak Konferensi Stockholm 1972 sampai sekarang. Sayangnya, konsep ecocide masih dikategorikan sebagai kejahatan perang, subordinasi dari gagasan perluasan Konvensi Genocide 1948.
Relasi Bisnis dan Kuasa
Business process yang dilakukan untuk menunjang kinerja industrialisasi oleh korporasi, selain modal ialah dengan menggandeng negara sebagai fasilitator dan regulator. Oleh karenanya, Korporasi dengan kekuatan modal akan mencoba mengintervensi sistem pemerintahan di suatu negara agar berwatak poor governence, dalam rangka melegitimasi kepentingan ekspansi dan eskplotasi sumber daya alam melalui fasilitas dan regulasi tertentu yang dilegalisasikan oleh negara.
Namun, untuk melihat dari perspektif ini, perlu menelusuri terlebih dahulu bagaimana relasi korporasi dengan penguasa terbentuk dalam kosmologi politik yang identik dengan finansial/modal. Sebelum tiba pada kesepakatan kerja sama, dalam konteks pemilihan umum para politisi dengan tendensi memenangkan pemilihan umum memerlukan modal/finansial untuk pembiayaan politiknya. Sedangkan, dalam menjalin relasi tersebut, korporasi bertendensi melenggangkan bisnis ekstraktifnya berupa pemenuhan hak-hak tertentu maupun lisensi. Akhirnya, terjadilah politik transaksional antara korporasi dan politikus (bakal penguasa) yang melahirkan simbiosis mutualime di antara keduanya, ominius berdampak destruktif terhadap kepentingan ingkungan hidup maupun masyarakat.
Sedangkan, dalam konteks good dovernence, kuasa dan bisnis mempunyai hubungan yang determinsitik. Artinya, Pemerintah memegang posisi yang dominan, secara politisisme melihat politik mentukan ekonomi, termasuk jalannya bisnis korporasi. Dengan demikian, pengambilan kebijakan maupun penyusunan regulasi tetap berada dalam koridor demi kepentingan bangsa dan negara dengan meminimalisir eksploitasi alam penyebab bencana ekologis.
Menelisik Kebijakan dan Regulasi Skala Nasional, Pro atau Kontra Ecocide?
Dalam Skala Nasional di Indonesia, pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan hak konstusional setiap warga negara yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945. Selain itu, kerangka pembangunan yang dianut Indonesia dan juga dijamin oleh konstitusi ialah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berwawasan lingkungan dengan basis ekonomi kerakyatan.
Untuk tiba pada perwujudan sustainable development dan pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, maka Pemerintah bersama DPR melegislasikan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dalam bidang lingkungan hidup. Sebagai umbrella act atau umbrella provision, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) merupakan produk hukum yang mengakomodir secara integral pembangunan di berbagai sektor secara integral termuktakhir sejauh ini (walaupun beberapa subtansinya masih perlu dievaluasi). UU PPLH mengatur secara komprehensif, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dari tahap, perencanaan, pemanfaatan, hingga penegakan hukum. Di dalamnya diatur berbagai instrumen yang mendukung dilaksanakannya pembangunan berkelanjutan, dari Inventarisasi lingkungan hidup, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Tata Ruang, hingga ke aspek hilir proyek berupa Amdal, UKL-UPL, dan perizinan.
Namun jika ditelisik, di era pemerintahan Presiden Jokowi Dodo yang sekarang ini telah memasuki periode kedua awal, lebih mengedepankankan kepentingan aspek sektoral di bidang perekonomian dibandingkan lingkungan hidup. Hal ini dapat ditelusuri dari nawacita, kebijakan, maupun produk hukum yang sementara diusulkan maupun yang telah disahkan bersama DPR pada rezim ini. Jokowi dan jajarannya hadir dengan nawacita di bidang perekonomian berupa deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha untuk mengatasi persoalan ekonomi dan daya saing industri nasional. Kemudian, mempercepat proyek srategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan dalam pelaksanaan dan penyelesaiannya. Serta, terakhir meningkatkan investasi di sektor properti.
Dari tiga nawacita tersebut, saat ini telah diterjemahkan dalam berbagai kebijakan dan produk hukum yang jika dikomparasikan dengan nafas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam UU No.32 Tahun 2009, sama sekali tidak terdapat koherensi di dalamnya. Sebut saja, Perpres No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Stategis Nasional, yang malah melenturkan perubahan aspek penataan ruang yang merupakan salah satu bagian vital perlindungan lingkungan hidup. Selain itu, Dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP OSS) juga membawa perubahan signifikan dalam aspek perizinan lingkungan, dimana dimungkinkannya izin dengan komitmen dalam prosesi daring baik izin lingkungan dan izin usaha untuk dapat dijadikan dasar melakukan beberapa kegiatan awal oleh Pemrakarsa. Hal tersebut jelas bertentangan dengan UU PPLH yang mengamanatkan penyusunan Amdal atau UKL-UPL sebagai dasar mendapatkan izin lingkungan, selanjutnya izin usaha dapat diperoleh olep Pemrakarsa apabila telah mendapatkan izin lingkungan tersebut.
Terakhir yang paling kontoversial dan jadi perbincangan berbagai khalayak sampai sekarang ialah penglegislasian UU Cipta Kerja dalam rangka mempermudah investasi, dengan menggunakan metode omnisbus law atau penyederhanaan peraturan perudang-undanngan yang konsep asalnya dari negara anglo saxon. Dari aspek penyusunan peraturan perundang-undangan metode ini jelas bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia karena menganulir banyak subtansi peraturan perundang-undangan, termasuk di bidang lingkungan hidup. Penguasaan,lahan perkebunan, dan lahan konsesi tambang, serta perizinan yang dipermudah dan masanya diperpanjang, menjadi satu dari sekian banyak muatan kontroversial yang diatur UU yang penyusunannya ini cenderung tidak melibatkan publik sebagai prasayarat yang wajib dipenuhi. Sehingga muncul praduga terjadinya praktik poor governance yang melegitimasi kepentingan dan tendensiusme pihak tertentu, tidak adanya proses check and balances karena hilangnya taring DPR yang telah diisi oleh 262 orang atau 45,5 % yang terafiliasi dengan perusahaan (Tempo, 5 Oktober 2019).
Oleh karenanya, sangat nampak bahwa kebijakan maupun regulasi yang dibentuk pemerintah sangat bersifat sektoral di bidang ekonomi, dalam hal mempermudah inverstasi dan perizinan berusaha (pembangunan). Di lain sisi, kebijkan tersebut semakin mengeliminasi aspek perlindungan lingkungan hidup yang sesuai amanat konstitusi adalah integral dengan pembangunan dan hak asasi warga negara. Namun pertanyaan kemudian yang menggelitik di benak kita semua ialah, sejauh mana pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai dan rentan waktunya apabila natural resource yang menjadi sumber hajat hidup sekaligus identitas bangsa, dilegitimasi untuk dieksploitasi skala besar-besaran? Apakah pertumbuhan ekonomi yang dititahkan kepada korporasi sebagai aktor utama dapat menjamin kesejahteraan rakyat (walfare)sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi?
Refleksi Penyelamatan Lingkungan Hidup & Perjuangan Melawan Ecocide
Kondisi lingkungan hidup saat ini, baik lokal maupun skala global sudah memasuki fase kritis akibat aktivitas industri/korporasi yang menjelma menjadi bom waktu menuju penghancuran lingkungan secara besar-besaran (ecocide). Konferensi Stockholm-Swedia, KTT Bumi-Rio Jeneiro Brazil, dan konverensi internasional lingkungan lainnya masih terbilang pertemuan seremonial semata bagi negara-negara yang lebih mementingkan kegiatan industri dibandingkan penyelamatan lingkungan hidup. Belum terlihat komitmen pelindungan lingkungan hidup yang kuat dari pemerintah nasional ataupun global, sebab paradigma pembangunan yang dianut masih melihat lingkungan hidup sebagai komoditi dan eksploitasi, menejemen industri dan investasi.
Bumi kini terancam menuju collapse. Laporan Intergovernmental Science Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) pada Mei 2019, dalam 50 tahun terakhir satu juta spesies telah punah akibat aktivitas manusia, 240 juta hektar hutan alam telah hilang dalam kurun 1990-2015, serta 100-300 juta penduduk yang mendiami wilayah pantai terancam banjir akibat hilangnya ekosistem pesisir. Selain itu, Internagovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2018 juga melaporkan bahwa aktivitas manusia mengakibatkan kenaikan suhu bumi (dengan tren pelepasan gas rumah kaca o,2 derajat Celcius setiap dekade) 1,5 derajat Celcius pada kurun 2030-2052. Konsekuensi dari kenaikan suhu bumi tersebut diprediksi akan mengakibatkan 350 juta populasi mengalami kekeringan parah, serta 135 juta orang akan berdampak kenaikan suhu air laut tanpa ada adaptasi. Sedangkan di Indonesia yang merupakan salah satu penopang paru-paru dunia pun sudah terancam memasuki fase kritis. Laporan IPBES di tahun 2018 menyatakan bahwa Indonesia kehilangan hutan 680.000 hektar setiap tahunnya dan tertinggi di Asia Tenggara. Hutan tersebut dikorbankan untuk perluasan lahan konsensi utamanya peerkebunan sawit yang semakin bringas di tanah Kalimantan dan Sumatra. Belum lagi lahan konsesi tambang, hingga ke aspek penataan ruang yang acap kali terjadi penyimpangan dari rencana tata ruang namun tumpul akan sanksi, semakin memperparah degradasi lingkungan hidup di Indonesia.
Dalam fase krisis tersebut, korporasi malah semakin diberikan ruang dan impunitas oleh pemerintah melalui kebijakan dan regulasi yang semakin melegitimasi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran (muatan omnibus law yang tengah dalam pembahasan sekarang ini). Di lain sisi, kepentingan rakyat terutama pada kategori yang lebih populis seperti petani dan nelayan, penghidupannya terancam diakusisi serta berimplikasi pada kemorosotan ketersediaan pangan nasional. Demi modal dan provit kesejahteraan rakyat seakan diperdagangkan.
Kebijakan pemerintah yang mengedepankan aspek pertumbuhan ekonomi secara sektoral, malah akan menimbulkan konflik dan ketimpangan pada sektor lainnya. Tidak adanya harmonisasi kepentingan antar sektor, serta kebijakan dan regulasi yang disusun tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan hidup yang mengalami degradasi secara signifikan mengejawantahkan bahwa Pemerintah mengalami sesat pikir (fallacy) dalam menerjemahkan amanat Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) & (4) UUD RI 1945 sebagai hukum tertinggi.
Sejatinya pertumbuhan ekonomi yang hanya melihat tren kenaikan angka statistik bukanlah indikator utama tercapainya kesejahteraan. Apalagi sifatnya sektoral dan mengorbankan kepentingan lingkungan hidup. Belum lagi karpet merah yang disediakan bagi korporasi malah menggeser konsep walfare state yang diatur dalam konstitusi kea rah corporate domain state. Maka, sudah selayaknya Pemerintah bermuhasabah dengan memperbaiki tatanan negara sebagaimana diinginkan para founding father dan rakyat Indonesia keseluruhan. Begitupun dengan masyarakat harus lebih peka dan berkontribusi dalam perlindungan lingkugan hidup. Karena, tidak aka nada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang tercipta dari kerusakan ekologis.
Terakhir, karena BUMI ADALAH IBU, tempat lahir, tumbuh, mencari, makan, minum, dan melangsungkan kehidupan, Maka, sudah seberapa besar perjuangan kita untuk merawat Ibu demi kehidupan? Juga kelangsungan kita, dan anak-anak kita selanjutnya ?