Oleh : Syahrullah Asyari Alumni Ma’had al Birr Makassar, Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNM
inforakyatindonesia.com – Pandemi Covid-19 telah menjangkiti jutaan orang dan telah menelan korban jiwa hingga mencapai ratusan ribu jiwa di seluruh dunia. Untuk memutuskan rantai penularan Covid-19 dan mencegah terus meningkatnya jumlah korban melalui kerumunan di masjid, para ulama pun telah mengeluarkan fatwa pelaksanaan ibadah yang intinya “beribadah di rumah saja”, baik ulama secara individual, maupun ulama secara institusional yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia. Begitupun dengan ulama di dua negara Islam yang fatwanya sering dijadikan rujukan, yaitu Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa (al Lajnah ad Da’imah li al Buhutsi al ‘Ilmiyyah wa al Ifta’) di Arab Saudi dan Dewan Riset Ulama al-Azhar (Majma’ Buhuts al-Azhar) di Mesir. Bahkan, ulama dari berbagai negara yang tergabung dalam Persatuan Ulama Islam Dunia (al-Ittihad al-‘Alamy li al-‘Ulama al Muslimin) pun telah mengeluarkan fatwa demikian. Mereka semua adalah ulama rabbani, insya Allah, yang berfatwa dengan keikhlasan untuk kemaslahatan umat dan bangsa di dunia.
Ulama memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah Ta’ala. Allah memuji ulama dalam al Qur’an (Lihat QS. Fathir: 28). Di sisi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ulama disebut sebagai kelompok yang mewarisi beliau kelak sepeninggal beliau (Lihat hadits shahih riwayat at Tirmidzi). Tentu kita ingin generasi kita memiliki kedudukan spesial di sisi Allah dan rasul Nya. Untuk itu, rujukan utama saya dalam membahas hal ini adalah laman, http://www.saaid.net/tarbiah/184.htm, yaitu ringkasan dari sebuah buku yang ditulis oleh Ummu Isra’ binti Arfah Bayumi. Buku yang diringkas itu berjudul, “Nisaa’un shana’na ‘ulamaa” artinya “Wanita Mencetak Ulama”. Dalam ringkasan buku tersebut, disebutkan sembilan metode yang dapat ditempuh oleh orangtua, khususnya para ibu, jika ingin membentuk anaknya menjadi ulama. Berikut ini ulasannya.
Pertama, Do’akan Anak
Do’a adalah sunnah para Nabi dan pembawa segala kebaikan. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berdo’a untuk Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya di atas pundak Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, lalu berdo’a untuknya, “allahumma faqqihhu fiddiyn wa ‘allimhut ta’wiyl”. Artinya, “Ya Allah, jadikanlah ia paham (faqih) dalam urusan agama dan ajarkanlah ia ta’wil (tafsir al Qur’an)”.
Demikianlah do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga Ibnu Abbas menjadi ulama umat ini. Ia mendapatkan kedudukannya tersebut berkat do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, kewajiban orangtua adalah mendo’akan anaknya agar anaknya menjadi seorang ulama.
Kedua, Tanamkan Cinta Ilmu dalam Jiwa Anak dan Ajarkan Ilmu padanya Sejak Usia Dini
Mengajarkan ilmu kepada anak di usia dini adalah cara paling tepat untuk membiasakan anak menuntut ilmu dan menanamkan kecintaan pada ilmu dan ulama di dalam jiwanya. Para pendidik dan psikolog sebenarnya telah menekankan pentingnya belajar di usia muda dan memanfaatkan masa muda untuk menuntut ilmu. Jika tidak, maka anak muda kelak akan menyesal di dunia dan akhirat. Temannya yang dulu menyibukkan diri belajar ilmu sejak masih kecil, kini mendapatkan janji Allah bahwa Allah mengangkat derajat orang yang berilmu atas orang jahil di dunia ini dan kelak di akhirat, insya Allah. Sementara itu, ia masih berada dalam kejahilan dan kelalaiannya.
Al Imam al Mawardi rahimahullah telah mengisyaratkan tentang pentingnya belajar di masa kecil. Salah satu sebab kelengahan dalam menuntut ilmu adalah ketika seseorang mengabaikan belajar di masa kecil atau di usia dini itu, lantas ia baru akan menyibukkan dirinya untuk belajar di usia tua. Sehingga, ia malu memulai belajar dengan apa yang mulai dipelajari oleh anak kecil. Karena malunya tersebut, ia lalu memulai belajar dari bagian akhir ilmu atau bagian bahasan yang tinggi. Itu ia lakukan untuk mendahului anak kecil dan pelajar pemula dan agar tampak setara dengan orang dewasa yang sudah tuntas mempelajari suatu ilmu. Demikianlah sebagian orang yang baru belajar di usia tua. Ia menipu, mengelabui, mencurangi, dan mengkhianati dirinya sendiri.
Ketiga, Ajarkan Anak Menghafal al Qur’an dan as Sunnah
Jika orangtua ingin anaknya menjadi ulama, maka kewajiban orangtua adalah menjadikan anaknya hafal al Qur’an yang akan menjadi cahaya yang menerangi jalan ilmu dan kejayaan baginya. Menjadikan anak hafal al Qur’an dan mempelajarinya sejak masih kecil adalah salah satu hal pokok dalam Islam. Al Hafizh as Suyuthiy rahimahullah berkata, “Mengajar al Qur’an kepada anak-anak adalah salah satu hal pokok dalam Islam agar mereka kelak tumbuh di atas fitrah dan mendahulukan cahaya hikmah masuk ke dalam hati-hati mereka sebelum hawa nafsu dan kegelapan mencemari hati-hati mereka dengan maksiat dan kesesatan”.
Sungguh al Qur’an itu memiliki pengaruh luar biasa yang dapat mendorong anak ke semua pintu gerbang kebaikan. Anak adalah orang yang paling bersih dan berada di atas fitrah. Naluri anak masih murni, sehingga kita harus memastikan bahwa anak menghafal al Qur’an sejak masih kecil. Kita memiliki salah seorang ulama yang shalih, salaf terbaik, yaitu al Imam asy Syafi’i rahimahullah. Dia menghafal al Qur’an, saat ia masih berusia enam atau tujuh tahun. Al Imam asy Syafi’ i rahimahullah berkata, “Siapa saja yang mempelajari al Qur’an yang mulia, maka besar harga dirinya. Siapa saja yang memandang sesuatu berdasarkan fiqh, maka terasah kemampuannya. Siapa saja yang menulis hadits, maka kuat argumennya”.
Sebagaimana kita mengajarkan al Qur’an pada anak di usia dini mereka, orangtua juga wajib menanamkan kecintaan pada as Sunnah di dalam jiwa anak dan mendorongnya untuk mengamalkannya dan menghafalkan hadits yang mudah baginya. Al Qur’an dan as Sunnah adalah fondasi terpenting yang akan membentuk pola pikir anak. Al Qur’an dan as Sunnah, keduanya adalah sumber pancaran ilmu yang akan menerangi dan menguatkan akal anak.
Keempat, Berusahalah Menemukan dan Mengarahkan Bakat Anak Sejak Dini
Sebenarnya tanda-tanda bakat seseorang sudah muncul di masa kanak-kanak hingga hampir-hampir tidak ada lagi keraguan pada orang yang memiliki firasat dan iman yang tulus untuk membawa anak pada kedudukan yang tinggi dan bersemayam di atas kemuliaan ilmu. Oleh karena itu, orangtua mestinya berusaha menemukan bidang yang menjadi keunggulan anak, mencintai, dan mengarahkan anak pada bidang keunggulannya. Maka, setelah menghafal al Qur’an, as Sunnah, dan menghafalkan yang mudah dari ilmu yang bermanfaat, orangtua berusaha menjadikan anak kompeten dalam bidang, di mana ia unggul.
Sungguh para salaf telah mengikuti kaidah ini. Dari situlah, al Bukhariy rahimahullah awalnya berusaha mempelajari fiqh dan mendalaminya. Tetapi, ketika gurunya yang bernama Muhammad bin al Hassan rahimahullah melihat kompetensi al Bukhariy yang lebih sesuai dengan ilmu hadits dan lebih cocok, serta lebih dekat dengan ilmu hadits, gurunya lalu berkata kepadanya, “Pergi dan sibukkanlah dirimu dengan ilmu hadits”. Al Bukhariy mematuhi arahan gurunya. Akhirnya, ia berhasil menuntut ilmu hingga menjadi seorang ulama hadits yang terkenal di dunia. Bahkan ia menjadi induk sekaligus imam para ahli hadits.
Kelima, Pilihkanlah Guru dan Sekolah yang Baik untuk Anak
Sesungguhnya seorang teman, sahabat, dan teman duduk berpengaruh terhadap teman duduknya yang lain. Maka, wajib bagi seorang muslim untuk memilih teman yang shalih yang memberi manfaat dalam persahabatannya dan menguatkan agamanya dengan persahabatannya itu, serta menjauhi teman duduk yang buruk.
Guru di sekolah bukan hanya sebagai teman bagi anak, tetapi bahkan sebagai pendidik yang akan mengarahkan tumbuh kembang anak. Maka, bagaimana seandainya guru itu buruk ilmu dan akhlaknya? Na’udzu billah min dzalik. Oleh karena itu, anak harus dipilihkan guru yang baik yang mampu membentuk dan membantunya menjadi ulama. Ini hal yang tidak mudah dilakukan bagi orangtua belakangan ini. Namun demikian, orangtua tetap berkewajiban memilih guru dan sekolah yang baik yang dapat menanamkan kecintaan pada Islam, al Qur’an dan as Sunnah, serta ulama itu sendiri dalam jiwa anaknya.
Keenam, Ajarkan Bahasa Arab kepada Anak hingga Ia Menguasainya
Sesungguhnya bahasa Arab adalah bahasa al Qur’an (Lihat QS. Yusuf: 2). Bahasa Arab adalah kunci semua ilmu. Manakala anak kuat dalam bahasa Arab, maka kekuatannya itu akan menjadi sebab lahirnya anak sebagai “mutiara” dalam suatu bidang keilmuan. Mutiara yang akan memiliki keinginan kuat mempelajari ilmu, mencintainya, dan menyibukkan diri dengannya.
Umar bin al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Belajarlah bahasa Arab, karena sesungguhnya bahasa Arab menguatkan akal dan menambah kehormatan”. Selain itu, al Imam asy Syafi’i rahimahullah berkata, Setiap orang yang mampu belajar bahasa Arab seharusnya mempelajarinya, karena bahasa Arab adalah bahasa paling utama yang disukai, tanpa mengharamkan berbicara dengan bahasa ‘Ajam (bahasa selain Bahasa Arab). Bahkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya membiasakan berbahasa Arab memiliki pengaruh yang sangat kuat dan jelas pada akal, akhlak, dan agama, dan juga menyerupai para pendahulu umat ini dari kalangan sahabat dan tabi’in, dan menyerupai mereka akan menambah kualitas akal, beragama, dan akhlak”.
Ketujuh, Pautkanlah Hati Anak di Masjid dan Bawalah Ia Belajar Ilmu di Masjid
Masjid adalah benteng yang dibangun untuk menciptakan ulama dari generasi ke generasi. Sungguh masjid masih dan akan terus menjadi benteng bagi lahirnya generasi yang mendedikasikan diri mereka untuk Allah subhanahu wata’ala dan berjalan di atas manhaj ulama, membelanya dan menyebarkan ilmunya. Itulah sehingga kebiasaan anak-anak para sahabat adalah shalat di masjid.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun sebenarnya di beberapa hadits shahih telah mencontohkan kepada para imam masjid agar meringankan shalat-shalat mereka sebagai bentuk kasih sayang kepada anak-anak. Bolehnya anak-anak ke masjid adalah agar mereka yang masih belia senantiasa terpaut hatinya dengan rumah-rumah Allah tersebut dan agar mereka bisa mengambil ilmu-ilmu yang bermanfaat di masjid. Kewajiban orangtua adalah menasihati anak-anak yang ada di masjid dengan nasihat yang lembut agar mereka tidak menjauhi masjid dan agar mereka senantiasa menghadiri majelis ilmu yang ada di masjid.
Seorang penyair berkata, “Para pahlawan tidaklah terbentuk, kecuali dari masjid kita yang luas. Di taman kanak-kanak al Qur’an, di bawah bayang-bayang hadits-hadits shahih. Masyarakat tanpa akidah, bagaikan kumpulan kertas yang mudah dihamburkan oleh angin. Siapa saja yang mengkhianati, “hayya ‘ala ash shalah (seruan untuk mendirikan shalat)”, ia pun akan mengkhianati, “hayya ‘ala al kifaah (seruan untuk totalitas dalam perjuangan)”.
Kedelapan, Siapkan Perpustakaan Audio dan Ruang Baca di Rumah
Sesungguhnya perpustakaan pribadi adalah salah satu sarana terpenting yang akan mendorong anak belajar ilmu dan membantunya dalam menuntut ilmu. Orang Arab berkata, “Buku adalah tamannya para ulama”. Juga berkata, “Tempat yang paling disenangi di dunia adalah di atas pelana kuda yang berlari kencang, dan teman duduk yang paling baik di setiap waktu adalah buku”.
Saat ini bahkan sudah ada perpustakaan audio, baik berupa kaset, maupun compact disc yang bermanfaat. Perpustakaan itu dapat dioperasikan melalui komputer, sehingga komputer adalah salah satu sarana yang penting, di mana anak-anak dapat diarahkan untuk mencintai ilmu melalui program yang didesain agar mereka mencintai ilmu. Program tersebut dapat menampilkan prinsip-prinsip bahasa dan prinsip-prinsip berbagai macam ilmu yang bermanfaat, seperti al Qur’an, hadits, tafsir, dan sirah. Program tersebut juga dapat ditampilkan dengan cara sederhana yang menarik bagi anak-anak.
Wajib bagi orangtua untuk memiliki keinginan kuat menautkan hati anak pada perpustakaan audio tersebut. Juga wajib bagi orangtua mengajari anak bahasa komputer, yaitu bahasa Inggris. Hal ini karena bahasa Inggris adalah bahasa pergaulan internasional dan bahasa sains dan teknologi saat ini. Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah menghukumi mubah belajar bahasa Inggris, tetapi akan menjadi fardhu kifayah, apabila dibutuhkan untuk menyelesaikan urusan kaum muslimin dan memberi maslahat bagi mereka.
Kesembilan, Ceritakan kepada Anak tentang Kisah Para Ulama Salaf dan Masa Kecil Mereka dalam Menuntut Ilmu
Penting bagi orangtua untuk mengajarkan kisah kepada anak sejak usia dini. Cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Kami diajari kisah peperangan Nabi (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri), seperti diajari salah satu surah di dalam al Qur’an.” Selain itu, para ulama al Qur’an menyebutkan bahwa lebih dari sepertiga bagian al Qur’an adalah kisah. Kisah itu adalah kisah sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus. Sepertiga bagian itulah yang telah membentuk rasul shallallahu ‘alaihi dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum menjadi orang yang pernah dihadirkan oleh Allah subhanahu wata’ala di muka bumi ini sebagai generasi terbaik (khaira ummah).
Dari perkataan cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ibrah dari diturunkannya kisah dalam al Qur’an kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, orangtua dapat belajar bahwa pada kisah, ada pelajaran yang sangat berharga. Al Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Mengajarkan kisah tentang para ulama dan jasa mereka lebih aku cintai daripada banyak mengajarkan fiqh, karena pada kisah mereka ada adab (teladan) bagi umat”. Perkataan al Imam Abu Hanifah ini dikuatkan oleh firman Allah subhanahu wata’ala (Lihat QS. al An’am: 90 dan QS. Yusuf: 111).
Melalui kisah, orangtua dapat menjaga pemikiran dan intelektualitas anak. Selain itu, orangtua juga dapat menanamkan kemampuan menghadapi masa depan dengan penuh optimisme dan belajar dari kegagalan masa lalu agar terhindar dari pesimisme. Karena siapa saja yang tidak mengenal kisah masa lalu, ia akan kehilangan cermin untuk merancang masa depan. Siapa saja yang tidak mengenal kisah salafushshalih di masa lalu, ia akan kehilangan teladan untuk menjadi ulama rabbani di masa depan.
Semoga Allah subhanahu wata’ala memudahkan langkah para orangtua mendidik anaknya menjadi ulama rabbani. Wallahu al Musta’an.